SEPUTAR LIGACAPSA - Pukul 11 siang, gerombolan laki-laki berambut cepak dan berbadan tegap berteriak-teriak. Mengajak warga mendatangi Yogya Plaza. Mereka datang dari arah Jalan Bekasi Timur menuju Stasiun Klender. Sambil menenteng balok kayu dan batu.
Jumlah mereka banyak. Lebih kurang mencapai 30 orang. Memakai kaus. Semua memakai sepatu. Keadaan mulai memanas. Beberapa perusakan mulai terjadi di sekitar Klender. Kereta api melintas juga menjadi sasaran. Bahan amukan massa dengan lemparan batu.
Gerak-gerik mereka masih terekam jelas dalam pikiran Ruminah. Peristiwa itu terjadi pada Kamis, 13 Mei 1998 silam. Ketika itu dia sedang di rumah. Wanita ini juga memiliki salon di lantai 3 Yogya Plaza. Kediamannya hanya sekitar 500 meter dari lokasi.
Ruminah tidak mengetahui dari mana asal mereka. Dia meyakini bukanlah warga sekitar Klender apalagi tetangganya. Sebab tetangga rumahnya memiliki anak dewasa. Dan mereka rata-rata sedang bekerja.
"Ada yang pakai kaus, ada yang bajunya diikat di pinggang, ada yang bertato jangkar. Ada yang pakai seragam sekolah, mereka bersepatu, seperti sepatu Hansip (organisasi pertahanan sipil)," kata Ruminah bertemu kami di kediamannya, Jumat pekan lalu.
Sekitar pukul 1 siang, Ruminah melihat banyak orang berlari sambil membawa berbagai barang elektronik. Mulai dari mesin cuci dan televisi dalam keadaan masih terbungkus rapi. Ternyata itu hasil jarahan. Ruminah mulai cemas. Khawatir salon miliknya juga menjadi sasaran penjarahan. Dia ketika itu sedang bersama anak ketiganya bernama Gunawan Subiyanto. Bocah 12 tahun itu memaksa ikut ibunya ke salon.
Dia sudah mencoba menahan Gunawan. Karena situasi mencekam. Apalagi kala itu sebentar lagi putra nomor tiga ini masuk sebagai siswa sekolah menengah pertama (SMP). Namun, pencegahan tidak berhasil. Sang anak tetap tetap ikut ke Yogya Plaza.
Wanita asal Brebes, Jawa Tengah, ini akhirnya nekat. Menembus kerumunan menuju lantai tiga. Alhasil salon miliknya sudah porak poranda karena ada penjarahan. Bahkan saat kejadian itu dia sempat ditonjok orang tidak dikenal.
"Saya pingsan beberapa lama, saat terbangun badan saya sakit semua, saya terinjak-injak orang. Saya bangun dan langsung mencoba mencari Gunawan," ucapnya.
Ruminah mencoba turun ke lantai satu sambil mencari sosok anaknya. Sulit menemukan. Kondisi mal hari itu gelap dan penuh kepulan asap. Kebakaran mulai memenuhi ruangan. Menyulitkannya untuk menemukan Gunawan. Sesampainya di lahan parkir depan mal, dia terkejut melihat banyak masyarakat lompat dari lantai atas untuk menyelamatkan diri.
Ada pula mencoba menggunakan tali dari sebuah jendela. Mereka juga berteriak meminta tolong kepada masyarakat berada di depan mal. Dengan sigap mereka menarik kasur yang dijual di mal agar mempermudah saat korban mencoba melompat dari lewat jendela.
Api mulai membakar seluruh bangunan mal. Wanita berumur 61 tahun itu mengaku tidak mengetahui bagaimana api bisa menyebar. Padahal masih ada ratusan orang di dalamnya. Ruminah menyebut tidak semua korban kebakaran merupakan penjarah mengambil barang. Namun ada pula dari mereka terjebak saat mencoba menyelamatkan sanak saudara. Termasuk Gunawan. Anaknya ditemukan dalam keadaan tewas terbakar.
Yogya Plaza merupakan salah salah satu dari 40 pusat perbelanjaan di Jabodetabek yang dibakar. Dari data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) peristiwa 13 Mei sampai 19 Mei 1998 terdapat 1.217 orang tewas.
Adanya segerombolan orang berambut cepak sebelum kerusuhan juga terjadi di Jalan Basuki Rachmat, Kampung Melayu. Rani, salah seorang pegiat dari lembaga bergerak dalam hak asasi manusia mengaku melihat sosok laki-laki rambut cepak, berbadan besar tinggi merusak pertokoan samping kantornya. Mereka jumlahnya banyak. Diperkirakan mencapai 20 orang. Kejadiannya pun berlangsung cepat pada 13 Mei 1998 siang hari itu.
Segerombolan tersebut datang dari arah Stasiun Tebet menuju Kampung Melayu. Mereka membawa beberapa alat perusak seperti balok kayu. Setelah merusak toko diinginkan dan mulai dijarah massa, mereka meninggalkan lokasi tersebut. Rani tidak mengetahui pasti ada atau tidaknya pegawai di toko Fuji Film itu. Sebab, dia bersama teman kantornya langsung keluar saat terdengar suara perusakan di toko sebelah.
"Mereka yang melakukan perusakan terus ditinggal, terus warga masuk, ada provokasi nya dulu gitu. Kayak pemicu aja," kata Rani bercerita kepada kami.
Saat itu, dia menyebut toko Fuji Film tersebut terbilang ramai pengunjung. Rani juga tidak mengetahui siapa pemilik toko cetak foto tersebut. Apalagi saat peristiwa berlangsung jalan raya depan kantornya ramai masyarakat. Namun, ketika insiden itu sudah tidak kendaraan umum beroperasi. Sehingga banyak masyarakat memilih untuk berjalan kaki.
Sebelum wilayah Kampung Melayu ramai aksi penjarahan toko dan pembakaran, kawasan Salemba, Jakarta Pusat, sekitar kampus Universitas Indonesia (UI) sudah mulai ramai sejak pagi menjelang siang hari. Pembakaran ban mobil mewarnai aksi tersebut. Karena itulah, atasan Rani saat itu sedang di Salemba menelepon kantor untuk meminta karyawannya pulang lebih awal.
Kala itu, Rani memilih menginap di rumah temannya di Manggarai, Jakarta Selatan. Sebab dia bersama tantenya tinggal di Pondok Bambu, Jakarta Timur. Apalagi transportasi ke sana tak ada kendaraan umum melintas. Saling berpegangan bersama keempat teman lain, Rani menyusuri gang-gang sempit Jakarta. Kepulan asap pembakaran ban mobil dan beberapa toko telah mewarnai Ibu Kota.
Tak hanya itu, wanita asal Surakarta, Jawa Tengah, ini juga menyebut malam harinya bersama temannya memilih berdiam diri di dalam rumah. Ini dikarenakan banyak isu beredar mencuat di masyarakat. Di antaranya rencana saling serang antar kampung. Sehingga menyebabkan adanya ketakutan masyarakat.
"Kampung ini mau diserang, kampung itu mau diserang sama kampung itu. Bagaimana orang jadi ketakutan," jelas Rani.
Kini sudah 20 tahun insiden itu berlalu. Semua berawal dari banyaknya desakan agar Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Padahal baru sekitar 70 hari Soeharto kembali terpilih untuk ke-7 kalinya. Pelbagai upaya juga terus diupayakan untuk menuntaskan kasus tersebut. Apalagi laporan TGPF peristiwa kerusuhan 1998 menyebut banyak korban berjatuhan. Bahkan sebagian perempuan warga keturunan Tionghoa dikabarkan menjadi korban pelecehan seksual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar